Rabu, 12 Juni 2013

Menuju Perubahan ! Apakah itu sulit ?

Anda tentu tahu, bahwa kualitas hidup seseorang sangat tergantung dengan kualitas pikirannya. Pikiran negatif menyebabkan kita pesimis, sedangkan pikiran positif memunculkan semangat dan optimis. Orang sukses punya pola pikir kesuksesan, sedangkan orang gagal punya pola pikir kegagalan. Anda tentu telah pernah membaca dan mengetahui itu semua, entah dari buku, majalah, koran, ataupun dari internet. Namun setelah sekian banyak bahan bacaan yang anda baca, mengapa kehidupan anda tetap biasa-biasa saja dan tidak ada perubahan yang berarti dalam kehidupan anda..? Demikian juga dengan kebiasaan-kebiasaan negatif serta sifat negatif diri yang menghambat kemajuan diri, anda tentu sudah tahu bahwa kebiasaan anda itu negatif dan tidak baik. Dan bahkan anda sudah mencoba berbagai cara yang anda ketahui untuk menghentikannya, tetapi anda merasa tidak berdaya dan tidak mampu mengalahkan serta mengendalikan diri sendiri bukan...? Ok.. Meskipun Anda tahu bahwa pikiran menentukan kualitas hidup, Anda tidak bisa dengan mudah mengubah pikiran Anda sendiri. Mungkin Anda sadar bahwa sekarang ini Anda merasa perlu “membenahi” pikiran Anda. Namun Anda tidak tahu atau belum bertemu cara yang efektif. Sumber Masalah adalah dari diri sendiri Para pakar dan dan peneliti perilaku manusia menyatakan bahwa 77% dari apa yang kita fikirkan bersifat negatif, kontraproduktif dan melawan diri kita. Sementara itu para peneliti di bidang medis menyatakan bahwa 75% dari penyakit yang di derita oleh manusia bersifat Self-induced (Penyakit yang timbul akibat kondisi pikiran/psikosomatis). MANUSIA ITU SULIT BERUBAH Setiap manusia memiliki mekanisme bertahan (“defense mechanism” ) apalagi jika berurusan dengan sesuatu perubahan. Bagi manusia berubah itu merupakan hal yang cukup “menantang & menakutkan” karena manusia cedendrung menyukai kenyamanan berada pada zona yang sudah terbentuk (Comfort Zone). Hukum Pikiran menyatakan bahwa ketika suatu ide telah diterima oleh fikiran serta disetujui oleh hati, dan kemudian mengendap di dalam fikiran bawah sadar apalagi kemudian diperkuat oleh ide-ide lain yang mendukung pokok fikiran tersebut. Maka ide tersebut telah menjadi suatu Kerangka Berfikir baginya (Mind set/Pola Fikir/Program Fikiran). yang kemudian menentukan apa yang akan diterima dan ditolaknya secara bebas. Mulai saat itu, tidak peduli bagaimana dunia berjalan, pikiran rasional akan mengikuti aturan yang diciptakannya sendiri dan mencoba memaksa dunia mengikuti aturan itu. Mengubah manusia itu sulit, utamanya karena mental map yang diikutinya selama ini. Mengubah manusia berarti mengubah mental map atau cara berpikir mereka. Kesulitan muncul karena manusia tidak mudah mengubah cara berpikir mereka, terutama jika cara berpikir itu terbukti berhasil di masa lampau dan mereka merasa nyaman dengan itu. Dengan kata lain, mental map yang sekarang dianut telah membawa manusia ke dalam zona nyaman (comfort zone). Siapa sih yang mau meninggalkan zona nyamannya? Dalam bukunya Black dan Gregersen, Leading Strategic Change (FT Prentice-Hall, 2003). B&G membagi problem perubahan menjadi tiga bagian: 1) ketidakmampuan melihat kebutuhan untuk berubah, 2) ketidakmampuan untuk bergerak memulai proses perubahan, dan 3) ketidakmampuan untuk menyelesaikan proses perubahan. Mengapa orang tidak mampu melihat perlunya dia berubah...? Pertanyaan ini sering kali menghantui karena seharusnya kebutuhan untuk berubah itu bisa terlihat dengan jelas. Seorang perokok tentu saja paham apa bahayanya merokok. Seorang deadliner tentu tahu bahwa hasil kerjanya tidak akan maksimal jika dikerjakan secara mendadak seperti itu. Mereka tahu bahwa kebiasaan mereka itu tidak baik, tetapi mengapa mereka tidak ‘tergerak’ untuk meninggalkannya? Kata B&G, manusia sering terpaku pada mental map yang dianutnya. Mengapa? Karena cara berpikir itu terbukti membawa keberhasilan/kesuksesan atau menempatkannya pada zona nyaman. Jadi meskipun di depan ada lubang yang bisa mencelakakan atau bahaya yang mengancam, tetap saja manusia berjalan secara business as usual. Tarikan untuk tetap bertahan ini luar biasa kuatnya, karena manusia selalu mengacu pada pengalaman yg pernah dijalaninya. Jadi meski orang tahu tentang bahaya merokok, dia akan berpikir, toh selama ini baik-baik saja. Seorang deadliner, meski tahu kebiasaannya itu jelek, tapi karena selama ini tidak pernah ada masalah, dia akan tetap menjalankannya. Bahkan ketika seseorang bereaksi terhadap bahaya yg mengancamnya, reaksinya juga cenderung bertahan dalam zona nyamannya. Contoh: seorang penderita kolesterol tinggi pasti tahu kalau makanan berlemak itu tidak baik baginya. Tapi karena makanan jenis itu memang lezat, dia tidak kuasa untuk menghindarinya. Apa yang dilakukannya untuk mengurangi resiko bahayanya? Alih-alih menjauhinya, yang dia lakukan adalah minum obat penurun kolesterol. Reaksinya ternyata tidak cukup kuat untuk membuatnya berubah. Dia tidak mau (dan tidak mampu) keluar dari zona nyamannya… Lalu, bagaimana caranya untuk “memaksa” diri untuk berubah? B&G mengusulkan dua strategi: contrast & confrontation. Kontras adalah usaha untuk membedakan secara jelas antara kondisi sekarang dan kondisi setelah berubah. Orang hanya akan mau berubah jika dia bisa melihat alasan (reason) mengapa dia harus berubah. Konfrontasi adalah cara untuk “memaksa” seseorang untuk melihat kondisi yang dihadapinya. Kadang manusia perlu digugah dengan cara “disentak”. Gambar paru-paru yang menghitam karena nikotin, jika ditunjukkan pada seorang perokok, bisa menimbulkan efek kejut yang besar. Efek kejut inilah yang harapannya dapat menumbuhkan kesadaran untuk berubah. Persoalannya, menumbuhkan kontras dan konfrontasi terhadap diri sendiri itu sulit, karena justru pikiran kita yang menjadi sasaran. Perlu kejernihan pikiran untuk bisa memunculkan kontras. Kontras bisa muncul jika ada obyektifitas dan kejujuran diri. Bandingkan antara kondisi yg akan dicapai (tujuan perubahan) dengan kondisi saat ini. Sekali lagi, syaratnya satu: jujur dan obyektif. Renungkanlah: bagus mana sih, bekerja secara deadliner, atau bekerja secara terencana? Kalau bisa bersikap jujur, rasanya jawabannya juga jelas. Konfrontasi bisa dibangkitkan jika ada motivasi internal dengan momentum yang cukup besar untuk mampu membawa diri bisa melihat kenyataan dan mengalami apa yang disebut dengan “unescapable situation”. Kondisi yang tidak bisa dihindari ini yang kemudian bisa menumbuhkan kesadaran baru. Masalahnya, apakah berani membawa diri ke kondisi unescapable situation ini? Misalnya: untuk semua kuliah yg diikuti dalam semester berjalan, belajarnya hanya pada saat malam sebelum ujian saja. Bisa saja hasil akhirnya adalah IP yang nol koma sekian. Mungkin ini akan menjadi unescapable situation yang menggugah kesadaran, tetapi kembali pertanyaannya: beranikah melakukan hal ini? Kalau tidak bisa menumbuhkan kontras dan konfrontasi secara mandiri, berarti harus mencari bantuan orang lain. Carilah orang yang bisa membantu memberikan kontras dan membawa kita mengalami konfrontasi yang berdampak munculnya kesadaran terhadap perubahan, misalnya dengan mendatangi seorang Coach dan Hypnotherapist. Dan menemukan orang seperti ini juga tidak mudah. Mengapa? Karena untuk bisa menumbuhkan kontras dan konfrontasi diperlukan komunikasi yang berkualitas. Selain skill yang bagus, komunikasi seperti ini juga perlu chemistry yang cocok antara pihak-pihak yang saling berkomunikasi. Dengan menerapkan kontras dan konfrontasi, diharapkan muncul kesadaran yang cukup untuk meninggalkan pandangan lama dan bergeser ke pandangan baru. Jika ini terjadi, apakah lalu orang lantas mudah untuk berubah? Ternyata tidak. Black dan Gregersen (2003) menjelaskan bahwa meskipun orang sudah mau mengadopsi pandangan baru yang lebih benar dan meninggalkan pandangan lama yang keliru, tidak berarti dia serta merta mau berubah. Bahkan dalam banyak kasus, di sini banyak “jebakan batman” yang membuat orang terperangkap dan tidak bisa move on. Bukankah kita sering mendengar ungkapan-ungkapan berikut ini? “Saya sebenarnya sudah berniat belajar secara teratur dan tidak mau lagi menggunakan cara SKS, tapi sulit sekali memulainya.” “Saya sudah berniat berhenti merokok, tapi saya takut tidak kuat menahan godaan yang pasti akan muncul tiap harinya.” Bagaimana mungkin saya lepas dari laptop dan gadget, dan meninggalkan kebiasaan langsung merespons setiap notifikasi yang muncul?” Semua contoh di atas menunjukkan ekspresi ketidakberdayaan untuk melangkah, meski mereka sudah tahu bahwa mereka harus melangkah dan berubah. Apa yang membuat mereka ragu-ragu? Apakah mereka begitu bodohnya, karena sudah tahu bahwa mereka harus berubah, tetapi tidak mau move on? B&G mengatakan, justru mereka tidak bodoh. Mereka gamang. Mengapa? Karena mereka tahu bahwa dengan melangkah menjalani perubahan, mereka akan keluar dari zona nyaman dan masuk dalam zona gelap yang penuh dengan ketidaknyamanan. Dan mereka tidak pandai dalam menjalani zona tidak nyaman tersebut. Bayangan ketidaknyamanan dan ketidakmampuan dalam berada di zona gelap inilah yang menghantui mereka, dan akhirnya memunculkan pertanyaan: apa jadinya diriku nantinya? Coba tanyakan ke seorang perokok yang insyaf dan akan memulai menghentikan merokoknya. Pertanyaan besarnya pastilah: bagaimana saya bisa menjalani hari-hari saya dengan penuh penderitaan? Bagaimana saya harus mengatasi godaan-godaan yang muncul? Dari situlah kemudian muncul keraguan, dan itulah yang kemudian membuat mereka berhenti melangkah. Bagaimana cara mengatasi keraguan ini? Pertama, harus disadari bahwa tiap perubahan memang selalu begitu. Selalu saja ada zona tidak nyaman yang harus dilalui. Selalu saja kita harus menjalani tahapan yang kita tahu pasti kita akan merasa bodoh, kedodoran, resah, awkward, dan berbagai rasa negatif lainnya. Coba tanya tiap penggila gadget saat dia jauh dari gadgetnya. Atau seorang mahasiswa yang mencoba mulai belajar utk UTS/UAS sejak sebulan sebelumnya. Berat sekali… Dengan demikian, kata kunci untuk melaluinya dengan baik adalah:keyakinan. Keyakinan bahwa setelah menjalani tahap kegelapan tadi, suatu saat kita akan sampai pada terang. Saat di mana kita sudah bisa menyesuaikan diri dengan tujuan perubahan. Saat di mana kita sudah nyaman dengan hal yang baru. Hal yang kini kita anggap benar. Setelah keyakinan tumbuh, berikutnya tumbuhkan pula motivasi internal untuk benar-benar memulai perubahan. Nah, tiap individu bisa berbeda dalam hal ini. Ada seseorang yang dengan mudah menumbuhkan motivasi internalnya, tapi ada juga yang sulit sekali melakukannya. Untuk yang sulit menumbuhkan motivasi internal, carilah dukungan dari luar. Carilah, misalnya, orang lain yang bisa memotivasi dan membuat kita tetap on the track. Carilah guru yang propesional, anda boleh mencoba : http://asetvirtual.com/?aff=rasphati atau http://affilorama.com/dan berguru padanya. Begitu motivasi tumbuh, langsunglah bergerak, memulai perubahan. Jangan tunda-tunda lagi. Kalau ada gaya keraguan bertindak, kalahkan dengan keyakinan dan motivasi. Pikirkanlah tujuan di depan, bahwa hari baru yang lebih cerah dan lebih baik daripada hari-hari lama sudah menunggu untuk diraih. Janganlah sibuk dengan berbagai ketidaknyamanan yang dialami saat menjalani perubahan. Menjalani perubahan juga bisa dibantu dengan membangun kondisi dan atmosfer yang kondusif. Jauhkan diri dari hal-hal yang terkait dengan pandangan dan kebiasaan lama yang akan ditinggalkan. Jangan dekat-dekat dengan rokok jika ingin meninggalkan kebiasaan merokok. Gantilah smartphone dengan HP jadul yang hanya bisa untuk menelpon dan SMS jika ingin menghilangkan kebiasaan “notif-sensitive”. Sulit ya? Memang. Ini sebabnya tidak banyak orang yang mau berubah dengan kesadaran sendiri. Tapi saya yakin, perubahan yang didasari oleh kesadaran sendiri akan membawa hasil yang lebih baik, karena perubahan itu akan punya daya dorong yang lebih kuat, lebih terencana, dan lebih jelas tujuannya. Bagaimana, sudah siapkah kita untuk berubah? Prinsip Perubahan : Untuk berubah diperlukan pergeseran kesadaran dari perjuangan pikiran sadar menjadi tuntunan bawah sadar. Pikiran anda yang terlalu keras lah yang membuat anda terus terjebak dalam masalah yang ingin anda selesaikan. ( Paul T Scheele, M.A., Founder, Learning Strategies Inc. )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar